Ibu, Pulanglah ke Rumah…!

(Sebuah Refleksi di Hari Ibu)

oleh: Irmanto*

Dalam Islam, Ibu menempati ruang yang sangat mulia, bahkan dalam sebuah hadits dikatakan, “keridhaan Allah terletak pada keridhaan kedua orang tua. Kemurkaan-Nya juga terletak pada kemurkaan mereka”

Hadits lain menyatakan bahwa ”surga itu berada di telapak kaki Ibu”. Dalam sebuah ayatNya, Tuhan berfirman :
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada duai ibu bapakmu; hanya kepada-Ku engkau akan kembali. (QS. 31:14-15)

Hadits dan ayat di atas, menunjukkan betapa terpandangnya peran seorang ibu, sampai-sampai ridha beliau sama dengan ridlanya Tuhan.

Ibu adalah figur yang sangat mengagumkan, tak ada hal yang lebih terhormat dan mulia daripada peran sebagai seorang ibu. Ibu adalah wonder women. Dialah yang menjaga kita sejak dalam kandungan dan dialah yang mengenalkan kita pada indahnya dunia ini.

Akan tetapi, peran ibu tidak hanya sampai di situ saja, tapi juga mengasuh, mendidik dan mengajari sang anak dan membentuk serta menjaga keimanan mereka.

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Hormatilah anak-anakmu. Ajari mereka akhlak yang baik, agar engkau mendapatkan keridhaan Ilahi dan keselamatan.”

Beliau juga pernah bersabda, “Jika engkau melatih anak-anakmu berperilaku baik dan memberi pendidikan yang semestinya, maka hal itu lebih baik daripada memberikan sebagian hartamu setiap harinya di jalan Allah.”

Ibu memiliki peranan yang sangat penting dalam pembentukan karakter bangsa, karena dialah yang paling berpengaruh dalam menanamkan nilai-nilai moral yamg luhur terhadap generasi bangsa. Ibu adalah pembina dan pendidik pertama dan utama bagi seorang anak. Karena dialah yang paling sering berinteraksi dan mengetahui keperibadian sang anak.

Ketika seorang anak melakukan penyelewengan, itu disebabkan kesalahan pendidikan yang dilakukan sang Ibu. Karena anak dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan suci, fitrah. Dan lingkunganlahterutama Ibuyang membangun karakter mereka. Jika mereka memiliki sifat dan perangai yang baik, itu karena Ibu yang mendidik mereka. Dan sebaliknya, jika mereka tidak berahlak, itu karena Ibu mendidik mereka untuk menjadi seperti itu.

Saat ini, ketika kesetaraan gender digembar-gemborkan dan mulai didapatkan yang salah satunya ditandai dengan kebebasan berkarir dan diperolehnya angka 30% untuk kaum Ibu dalam kancah politik, kaum Ibu mulai merangkak menuju dunia dan peranan lain. Ibu yang awalnya hanya memasak, mencuci, dan mengasuh anak, kni mulai punya kesibukan lain, mengurusi masalah kantor yang tak kunjung usai, atau para demonstran yang menuntut kebijakannya.

Sebenarnya, bukan masalah ketika kaum Ibu terjun dalam peranan lain, karena tak ada larangan untuk itu. Dalam Islampun hal demikian diperbolehkan. Bahkan sejak masa nabipun sudah ada kaum Ibu yang mulai terjun dalam peranan lain, seperti menjadi wanita karir sebagaimana yang dilakukan oleh Siti Khadijah, salah satu istri nabi, atau Siti Aisyah yang terjun dalam dunia politik dan keilmuan serta sastra, yang juga merupakan istri nabi.

Akan tetapi, yang menjadi masalah, terkadang mereka lupa terhadap kodrat mereka sebagai seorang Ibu, lupa terhadap tanggung jawab dan kewajiban mereka kepada anak-anak mereka. Padahal, kewajiban utama mereka
adalah bagaimana bekerjasama dengan suami dalam rangka menciptakan keluarga yang sakinah mawaddat warahma.

Ibu yang awalnya selalu setia menunggui anaknya ketika sedang belajar, membantu memakaikan seragam sekolahnya, dan menyuapinya ketika sarapan bersama. Kini hal itu mulai tereleminasi dan tergantikan dengan kesibukan baru dalam dunia baru mereka. Kaum Ibu mulai tenggelam dalam dunia perpolitikan dan karir, dengan alibi kebebasan dan perbaikan.

Saat ini, tidak sedikit anak-anak yang lebih dekat dengan pembantunyayang umumnya lulusan SD atau SMP dan berpengetahuan minim tentang pendidikan anakdaripada kepada Ibunya. Atau anak-anak yang tak terkontrol pergaulannya, hingga akhirnya mereka terjun dalam dunia bebas dan amoral, mengkonsumsi sabu-sabu dan melakukan seks bebas. Semua itu dikarenakan kurang atau bahkan tidak adanya perhatian keluargaterutama perhatian sang Ibu. Karena kaum Ibu lebih menikmati karir daripada memberikan pendidikan yang baik untuk anak-anaknya, pendidikan yang tidak hanya dalam ranah formal, tapi juga yang terpenting pendidikan karakter. Karena kaum Ibu lebih memperhatikan permasalahan kantor, daripada melihat dimana dan bagaimana kehidupan anak-anak mereka.

Memang tidak dapat dipungkiri, saat ini keterpurukan ekonomi telah menuntut semua pihak untuk bekerja keras, termasuk kaum Ibu. Akan tetapi, hal itu tidak bisa dijadikan alasan untuk mengesampingkan tanggung jawab dan kewajiban mereka sebagai seorang Ibu. Karena bagaimanapun juga Ibu tetaplah Ibu, yang bertanggungjawab untuk mendidik anak-anak mereka, menuntun mereka dalam dunia yang lebih baik. Karena itulah garis utama yang melekat dalam diri seorang Ibu. Tapi, ini tidak berarti bahwa kaum Ibu hanya pantas di rumah saja. Hanya saja, ketika seorang Ibu mengambil peranan ganda, menjadi seorang ibu dan sekaligus wanita karir atau politikus, maka dia harus siap-siap untuk pintar-pintar membagi waktu, jangan sampai kewajiban utama mereka sebagai seorang Ibu tergantikan dengan kesibukan lain. Karena, jika hal itu terjadi, yang akan menjadi korban adalah anak-anak mereka. Anak tidak akan terkontrol dengan baik atau sama sekali, dan pada akhirnya akan membawanya dalam keterpurukan.

Peran gender dalam segala ruang memang tidak harus boleh dimentahkan, namun harmoni dan keseimbangan merupakan sebuah keniscayaan demi terwujudnya tujuan keberadaan sebuah keluarga.

Ayah dan ibu memang berbeda, namun keduanya tidak terpisahankan dalam sebuah kesatuan yang utuh dalam konteks keluarga, kehilangan peran salah satunya akan memunculkan dis-harmoni bagi sebuah keluarga, dan yang paling dirugikan adalah anak. Sehingga wacana “Ibu, pulanglah kerumah” bukanlah sebagai bentuk peperangan terhadap gender, bahkan hal ini dalam rangka mensukseskan dan meluruskan isu gender yang semakin semrawut serta hampir tercerabut dari semangat sucinya.
Ibu, dimanapun engkau berada, dibelakang meja kantor, diantara kerumunan orang berdasi, atau ditangga senayan sekalipun, lihatlah ke rumah, tengok anakmu, bukankah demi mereka engkau berada kini.

*Penulis merupakan koordinator kelompok diskusi RWeT IAIN Sunan Ampel, serta penduduk tetap sekretariat Komunitas Baca Surabaya.

Published in: on Desember 22, 2008 at 7:51 am  Tinggalkan sebuah Komentar